Dewan Pers Kecam Teror Terhadap Jurnalis, Pengiriman Kepala Babi dan Tikus kepada Media Tempo Adalah Bentuk Teror Kebebasan Pers
EXPOSE NET, Jakarta || Peningkatan angka yang menunjukkan teror terhadap jurnalis di Indonesia menjadi perhatian serius. Baru-baru ini, insiden pengiriman kepala babi dan tikus ke kantor media Tempo menciptakan geger di kalangan jurnalis dan pegiat kebebasan pers. Paket teror tersebut diterima oleh jurnalis Tempo, Francisca Christy Rosana, pada 20 Maret 2025. Ketika kotak kardus dibuka, bau busuk menyengat keluar, dan isi dari paket tersebut menunjukkan betapa menyeramkannya tindakan intimidasi ini.
Para jurnalis di dalam redaksi merasakan dampak psikologis yang cukup signifikan akibat teror ini. Respon awal pihak Tempo menunjukkan rasa keberatan yang mendalam terhadap tindakan tersebut, menggarisbawahi bahwa kebebasan berpendapat dan berprasangka buruk terhadap wartawan adalah sesuatu yang tidak dapat diterima.
Respon Dewan Pers Terhadap Insiden
Dewan Pers, sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam menjaga independensi dan kebebasan pers di Indonesia, segera mengeluarkan pernyataan resmi menyusul insiden tersebut. Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menegaskan bahwa tindakan teror seperti ini adalah pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan juga ancaman nyata terhadap independensi pers.
“Dewan Pers mengutuk keras segala bentuk teror terhadap jurnalis sehubungan dengan pengiriman kepala babi,” ungkapnya dalam jumpa pers.
Ninik juga menekankan pentingnya perlindungan bagi para jurnalis, dengan berharap agar aparat kepolisian mengusut tuntas kasus ini. Tindakan tegas terhadap pelaku diharapkan dapat menjadi sinyal bahwa intimidasi terhadap jurnalis tidak akan ditoleransi.
Dukungan Dari Legislator dan Masyarakat
Keberanian Dewan Pers dalam menangani insiden ini didukung penuh oleh anggota DPR, Tubagus Hasanuddin. Ia menyatakan bahwa kebebasan pers sangat penting dalam demokrasi yang sehat, dan harus dilindungi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Hasanuddin juga menyerukan perlunya kesadaran masyarakat tentang literasi media, yang dapat membantu menciptakan ekosistem pers yang lebih sehat dan bertanggung jawab.
Dukungan dari kalangan legislator serta masyarakat sipil menunjukkan bahwa ada harapan untuk perlindungan kepada jurnalis yang lebih baik di Indonesia. Diskusi mengenai literasi media menjadi semakin relevan, terutama dalam konteks meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap isu-isu pers dan hak kebebasan berekspresi.
Kritik Terhadap Pernyataan Pejabat Pemerintah
Namun, tidak semua tanggapan terhadap insiden ini dipandang positif. Pernyataan dari Kepala Kantor Kepresidenan, Hasan Nasbi, yang meremehkan insiden teror ini menuai kritik tajam. Hasan menyatakan bahwa seharusnya kepala babi tersebut dimasak, dan berupaya untuk menormalkan situasi seolah-olah tidak ada yang serius di balik teror tersebut. Banyak pihak, termasuk anggota DPR dan aktivis, mengecam komentar tersebut, menilai bahwa pernyataan seperti itu justru memperlemah komitmen pemerintah terhadap perlindungan kebebasan pers.
Pernyataan Hasan juga dinilai mencerminkan sikap pemerintah yang minim terhadap dukungan bagi jurnalis. Situasi ini dapat membawa implikasi panjang, di mana jurnalis merasa tidak terlindungi dalam menjalankan tugas mereka. Dewan Pers, bersama dengan berbagai organisasi masyarakat sipil, menyerukan pemerintah untuk lebih waspada dan berkomitmen terhadap perlindungan terhadap pers.
Dewan Pers menekankan bahwa tindakan kekerasan dan intimidasi terhadap wartawan dapat mencederai demokrasi, dan diharapkan agar hal ini tidak terulang lagi. Ancamannya nyata, dan jurnalis diharapkan dapat terus melaksanakan tugas mereka dengan tanpa rasa takut, serta memperoleh dukungan yang diperlukan dari masyarakat dan pemerintah.
Dengan meningkatkan kesadaran serta literasi media, diharapkan masyarakat dapat menghargai lebih dalam peran dan fungsi pers, sekaligus mengurangi insiden teror ke pers, dan mendukung kebebasan berpendapat dengan cara yang lebih konstruktif.
Penulis : Aninggell
Respon (1)