EX-POSE.NET : Latest-Trusted-Objective | Berita Terkini - Terbaru - Terpercaya
Sapta Bela Alfaraby Kritik atas Klaim Moral Terhadap Musik DJ
Ex-Pose.net, BOGOR – Saya Sapta Bela Alfaraby, sebagai pelaku seni dan profesional di bidang musik DJ, menyampaikan keprihatinan sekaligus keberatan atas pernyataan Wakil Wali Kota Bogor, Jenal Muttaqin yang mengaitkan pemutaran musik DJ dengan ‘Adzab Tuhan’ dalam bentuk bencana alam.
Dalam pandangan saya, pernyataan tersebut bukan hanya tidak berdasar secara ilmiah, tetapi juga problematis secara sosial, budaya, dan etika kepemimpinan publik.
Perlu diingat, bencana alam bukan Instrumen Stigmatisasi Budaya. Bencana alam adalah fenomena geologis dan klimatologis, bukan alat legitimasi untuk menghakimi ekspresi seni tertentu
Pernyataan Wakil Walikota Bogor ini jelas menyudutkan profesi Disc Jockey (DJ) se Indonesia. Mengaitkan selera budaya dengan dosa kolektif adalah kekeliruan berpikir yang sangat fatal.
Tak hanya itu, beliau menggunakan narasi “adzab” untuk menilai aktivitas seni modern sebagai bentuk reduksi teologis yang berbahaya dan berpotensi memecah masyarakat.
Maaf Pak Wakil Walikota yang terhormat. Saya ingatkan, musik DJ adalah Ekspresi Budaya yang Sah. Musik DJ diakui secara global sebagai bagian dari industri kreatif baik di level lokal, nasional hingga internasional.
Di zaman modern ini, Musik DJ telah menjadi ruang ekspresi anak muda. Musik DJ juga memberi kontribusi ekonomi, sosial, dan budaya dan menjadi sarana inklusif lintas kelas, agama, dan identitas
Jelas apa yang disampaikan Bapak Wakil Walikota Bogor ini telah menstigmatisasi Seniman musik DJ. Beliau secara gamblang menolak realitas kebudayaan kontemporer.
*Kontradiksi dengan Fakta Politik Nasional*
Ironisnya, Presiden terpilih Prabowo Subianto—tokoh nasional yang kini menjadi simbol kepemimpinan negara—tidak terlepas dari kontribusi seniman DJ dan musik elektronik.
Lagu ‘Oke Gas-Oke Gas’, yang kerap diputar dalam kampanye Prabowo, adalah bukti nyata bahwa musik DJ dapat menjadi medium komunikasi politik. Seni jelas tidak bertentangan dengan nilai kebangsaan.
Musik DJ bukan simbol kemerosotan moral, melainkan alat ekspresi rakyat. Jika musik DJ dianggap mengundang adzab, maka logika itu runtuh oleh fakta bahwa musik yang sama justru mengiringi proses demokrasi nasional.
*Saran Kritis*
Pejabat publik wajib menjaga etika berkomunikasi atau membuat Pernyataan di media sosial. Setiap narasi yang dibuat perlu ditimbang secara etik. Jangan sampai membawa dampak sosial.
Kata-kata beliau di medsos jelas dapat menciptakan ketakutan, stigma, dan pembelahan sosial. Mengaitkan profesi tertentu dengan murka Tuhan adalah bentuk abuse of moral authority yang tidak sejalan dengan prinsip negara hukum dan kebhinekaan.
Untuk itu, saya sebagai seniman DJ sangat menolak disalahkan atas bencana yang terjadi. Sebagai DJ, kami tidak merusak alam; tidak menciptakan gempa atau banjir; dan tidak pantas dijadikan kambing hitam atas kegagalan tata kelola lingkungan dan kebijakan publik
Jika ada bencana, alangkah baiknya kita bicara tentang tata ruang, deforestasi dan drainase kota. Ingat! Krisis iklim bukan tentang playlist dan sound system.
Pasal 28 ayat (2) UU ITE: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).”.
Pasal 45A ayat (2) UU ITE: Merupakan pasal penutup yang mengatur sanksi pidana bagi pelanggar Pasal 28 ayat (2), dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Oleh: Sapta Bela Alfaraby








