EX-POSE.NET : Latest-Trusted-Objective | Berita Terkini - Terbaru - Terpercaya
JAKARTA – Badan Gizi Nasional (BGN) secara mengejutkan mengumumkan penghentian sementara distribusi program Makan Bergizi Gratis (MBG) pada awal Januari 2026 mendatang.
Keputusan ini memicu pertanyaan besar di tengah masyarakat: apakah ini sekadar jeda teknis untuk evaluasi, atau indikasi rapuhnya perencanaan program nasional berskala besar ini?
Fase Belajar Sambil Berjalan
Meski disebut sebagai penghentian sementara, langkah ini menunjukkan bahwa program MBG sejatinya masih berada dalam fase “belajar sambil berjalan”. BGN berdalih bahwa penghentian ini diperlukan untuk penguatan aspek teknis, mulai dari persiapan dapur umum, pemenuhan sumber daya manusia (SDM), hingga penguatan sistem keamanan pangan yang selama ini dinilai masih rentan.
Namun, keputusan untuk berhenti total secara mendadak—meski dalam waktu singkat—menegaskan bahwa desain awal MBG belum sepenuhnya siap menghadapi ritme operasional yang berkelanjutan di seluruh penjuru tanah air.
Pertanyaan Tentang Hak Anak
Di satu sisi, prioritas BGN untuk tetap menjaga intervensi gizi bagi kelompok prioritas (B3) patut diapresiasi sebagai langkah mitigasi agar dampak kesehatan tidak menurun. Namun di sisi lain, fleksibilitas berlebihan pada distribusi untuk anak sekolah menimbulkan pertanyaan mendasar.
Apakah program Makan Bergizi Gratis ini benar-benar diposisikan sebagai pemenuhan hak dasar anak secara konsisten, atau masih dianggap sebagai program tambahan yang porsinya bisa dinegosiasikan tergantung pada kondisi teknis di lapangan?
Momentum Evaluasi Serius
Jeda pada Januari 2026 ini seharusnya menjadi momentum evaluasi yang mendalam, bukan sekadar jeda logistik. Masalah-masalah klasik seperti kualitas SDM lokal, standar kebersihan dapur yang tidak merata, hingga rantai distribusi yang tersendat semestinya sudah diantisipasi sejak tahap perencanaan awal.
Jika kendala-kendala ini tidak segera dikoreksi secara fundamental, program MBG berisiko hanya menjadi program populis yang kuat secara narasi, namun rapuh dalam implementasi nyata.
Tuntutan Kepastian ke Depan
Publik kini menaruh harapan besar sekaligus menuntut kepastian. Masyarakat menunggu apakah ke depannya MBG akan bertransformasi menjadi sistem gizi nasional yang stabil, profesional, dan berkelanjutan, atau justru terus terjebak dalam pola “jeda dan toleransi” yang justru mengompromikan kualitas gizi generasi mendatang.
Kini, bola panas ada di tangan pemerintah untuk membuktikan bahwa program ini bukan sekadar janji, melainkan solusi nyata yang matang secara sistemik.(C.S)









