EX-POSE.NET, JAKARTA – Jaksa Agung ST Burhanuddin menjelaskan panjang lebar terkait peranan penerapan keadilan restoratif atau restorative justice terhadap pelaku tindak pidana korupsi dengan nominal kecil, dalam hal ini sekitar Rp 50 juta ke bawah.
Burhanuddin mengawali, saat ini pemberlakuan Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif masih dibatasi, terutama jenis perkara yang melibatkan masyarakat kecil.
Namun, mengingat tujuan yang hendak dicapai oleh prinsip keadilan restoratif yaitu untuk menghadirkan kemanfaatan hukum yang sebesar-besarnya bagi masyarakat, maka jangkauan ke depan idealnya adalah Peraturan Kejaksaan Keadilan Restoratif ini akan dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
“Hal ini mengingat bahwa setiap orang berhak mendapatkan keadilan hukum, sehingga keadilan hukum tidak dapat diberikan hanya untuk golongan tertentu saja. Hal ini tentunya dengan tetap memperhatikan kualitas, jenis, dan berat ringannya suatu perkara. Dengan prinsip ‘keadilan untuk semua dan hukum untuk manusia’, maka pendekatan ideal dalam keadilan restoratif di masa yang akan datang adalah dengan melihat jenis perkaranya, bukan lagi melihat subyek yang berperkara,” tutur Burhanuddin dalam siaran pers Kejaksaan Agung (Kejagung), Selasa (8/3/2022).
Menurut Burhanuddin, dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi, penerapan keadilan restoratif ini dimungkinkan dapat diterapkan kepada para pelaku korupsi yang perbuatannya tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara mau pun yang terkait dengan kerugian keuangan negara, namun dengan nominal kerugian yang kecil.
“Dengan mengingat kejahatan tindak pidana korupsi pada dasarnya adalah kejahatan finansial, maka menurut hemat saya, penanggulangannya akan lebih tepat jika pendekatannya mempergunakan instrumen finansial,” jelas Jaksa Agung.
Pendekatan instrumen finansial yang telah dilakukan selama ini adalah mengubah pola pendekatan dari follow the suspect menjadi follow the money dan follow the asset, juga pemiskinan koruptor dengan melakuan perampasan aset koruptor melalui asset tracing guna pemulihan kerugian keuangan negara, sehingga penegakan hukum tidak sekedar pemidanaan badan tetapi juga memulihkan kerugian keuangan negara secara maksimal.
Tidak ketinggalan, lanjut Burhanuddin, melakukan gugatan keperdataan terhadap pelaku yang telah meninggal dunia atau diputus bebas, namun secara nyata telah ada kerugian keuangan negara.
“Melalui pendekatan instrumen finansial, maka proses pemberantasan tindak pidana korupsi perlu mempertimbangkan beban ekonomi negara untuk biaya proses penegakan hukum, termasuk biaya hidup dan pembinaan narapidana pasca putusan inkracht,” jelas Burhanuddin.
Burhanuddin mengatakan, sistem hukum pemberantasan tindak pidana korupsi yang ditegakkan oleh aparat penegak hukum saat ini masih terpaku pada tindakan represif dalam delik Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Sementara, terdapat sekitar 30 jenis tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dapat dikelompokkan menjadi tujuh bentuk tindak pidana korupsi, dan juga masih ada enam bentuk perbuatan lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
Mencermati seluruh bentuk tindak pidana korupsi tersebut, Burhanuddin mengatakan, tidak semua jenis tindak pidana korupsi berkaitan dengan kerugian keuangan negara. Dengan adanya perbedaan jenis tindak pidana korupsi, maka sudah seyogyanya mekanisme penerapan hukumnya pun juga harus dilakukan secara berbeda.
“Tidaklah tepat jika delik yang tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara, kita terapkan proses hukum yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara. Penegakan hukum harus proporsional dan profesional sebagaimana makna dari simbol timbangan yang menjadi lambang keadilan,” terangnya.
Dia melanjutkan, terhadap tindak pidana korupsi yang berkaitan atau pun tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara dengan nominal kerugian yang relatif kecil, misalnya di bawah Rp 50 juta, maka kiranya patut menjadi bahan diskusi bersama. Yakni apakah perkara tersebut harus dilakukan penjatuhan sanksi pidana penjara atau dapat menggunakan mekanisme penjatuhan sanksi lain.
“Misalkan tindak pidana korupsi yang terjadi di Kota Pontianak dalam perkara pungutan liar atau pungli dengan nilai Rp 2,2 juta, apakah perkara pungli tersebut harus diproses dan disidangkan dengan mekanisme hukum tindak pidana korupsi ?,” kata dia.
Burhanuddin menjelaskan, penanganan perkara tindak pidana korupsi dari proses penyelidikan sampai dengan eksekusi tidaklah murah. Negara menanggung biaya hingga ratusan juta rupiah untuk menuntaskan sebuah perkara tindak pidana korupsi.
Hal itu tentunya tidak sebanding antara biaya operasional dengan hasil tindak pidana korupsi yang diperbuat pelaku alias besar pasak daripada tiang. Meski maraknya kejahatan pungli sangatlah meresahkan masyarakat dan seringkali berdampak timbulnya biaya ekonomi tinggi pada sektor industri atau pun sektor produksi, namun pemberantasannya pun sebaiknya tidak menimbulkan beban finansial keuangan negara.
Seperti misalnya penanganan kasus korupsi di wilayah Indonesia Timur yang proses pemeriksaan dan persidangannya harus ditempuh melalui jalur darat, laut, dan udara. Tindak ketinggalan menuju ibu kota provinsi guna menyidangkan perkara yang hanya berskala relatif kecil, sehingga biaya operasional yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kerugian negara yang hendak diselamatkan.
“Terlebih semangat yang terkandung dalam rezim pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini adalah pemulihan atau penyelamatan keuangan negara seoptimal mungkin. Ketentuan lain yang perlu dicermati adalah keberlakuan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan yang mana setiap pemeriksaan dan penyelesaian perkara harus dilakukan dengan cara efesien dan efektif,” jelasnya.
Burhanuddin menyebut, penanganan kasus korupsi berskala kecil juga bukanlah capaian yang patut dibanggakan, dan bahkan terkadang cenderung tidak dapat diterima publik. Kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum justru dapat menurun karena kualitas penangangan perkara yang dilakukan hanya berada di level ikan teri dan akhirnya aparat penegak hukum dianggap tidak mampu untuk melawan koruptor kelas kakap.
“Di samping itu, hal lain yang perlu dipahami adalah menyamakan kasus korupsi Rp 50 juta dengan pencurian Rp 5 juta. Dua kasus ini tidaklah sama atau tidak apple to apple. Kasus korupsi adalah tindak pidana khusus yang memiliki mekanisme yang lebih kompleks dan memerlukan biaya tinggi, serta pihak yang dirugikan adalah negara,” tegas Burhanuddin.
?Pada dasarnya negara sebagai korban memiliki kapasitas menghukum pelaku dengan menggunakan mekanisme atau instrumen lain di luar sanksi penjara. Tentunya suatu instrumen yang memiliki kaidah keadilan, namun bersifat ekonomis lantaran negara justru merugi lebih banyak jika harus menghukum pelaku sampai masuk ke penjara? jelas dia.
Jika dipaksakan, masyarakat secara tidak langsung akan menjadi korban sekunder lantaran uang negara yang seharusnya dapat disalurkan untuk kesejahteraan masyarakat malah terkuras habis hanya untuk penanganan perkara korupsi kelas teri.
“Saya menyadari jika pemberantasan tindak pidana korupsi haruslah dilakukan di semua lini dan lapisan masyarakat. Namun yang perlu dicatat adalah banyak cara untuk memberantasnya. Para pelaku tindak pidana korupsi yang perbuatannya tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara maupun yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, namun dengan nominal kerugian yang kecil, tetap akan kita berikan hukuman yang setimpal,” ucap Jaksa Agung.
Penjatuhan sanksi pidana khususnya penjara sendiri bukanlah upaya balas dendam, melainkan proses edukasi ke masyarakat dan efek jera yang bertujuan agar pelaku menyadari kesalahannya, sehingga penjatuhan pidana adalah upaya terakhir. Bagi Burhanuddin, penerapan asas ultimum remedium dalam beberapa kasus atau delik tertentu sekiranya masih sangat relevan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. [Red-CH]